Cerpen Musim Putus Asa (Part 1)

Siang ini panas sekali, aku sampai tak kuasa menahan terik sinar matahari. Padahal, bulan ini sudah masuk musim penghujan, tetapi kenapa masih sepanas ini ya? Ah, globalisasi sekali lagi membuat cuaca tak menentu dan tidak bisa ditebak sedikit pun. Aku pun meneruskan langkahku menuju kampus. O iya, Aku Dito, mahasiswa jurusan teknik elektro di Universitas Brawijaya Malang. Saat ini aku sedang berada di semester akhir, aku juga harus menciptakan sebuah alat baru sebagai tugas akhir perkuliahanku. Dalam mimpiku, Aku ingin menjadikan tugas akhirku ini sebagai alat yang bisa membantu banyak orang nantinya. Semua rancangan sudah aku buat dengan sedetail mungkin, mulai dari rancangan awal alat tersebut hingga proses pengaplikasiannya.

Menjelang musim hujan dan beberapa fenomena krisis air yang kian hari kian meningkat di Indonesia, suplai air bersih justru terus berkurang. Akhirnya, aku pun berinisiatif untuk membuat suatu alat yang ku beri nama Waterdito Energy. Sebuah alat penangkal hujan yaitu berbentuk seperti tiang yang dilapisi oleh plastik lentur dengan lebar 4x4 meter. Uniknya, alat ini bisa bergerak secara otomatis ketika hujan turun dan bisa menampung air dengan berat makismal 500kg. Aku sangat yakin alat ini sangat membantu banyak orang supaya bisa memanfaatkan air hujan sebagai salah satu alternatif cadangan air. Apalagi, saat ini sudah memasuki musim penghujan. Jadi, pasti alat ini sangat dibutuhkan oleh banyak masyarakat di Indonesia.

Bapak Sucipto adalah dosen pengujiku, ia terkenal di kalangan mahasiswa sebagai dosen killer dan tak punya hati. Ia tak segan menjatuhkan karya mahasiswa sejatuh-jatuhnya, hingga membuat mahasiswanya putus asa. Meskipun begitu, Aku tetap yakin alat ini mampu membuat Pak Sucipto bangga dan tercengang melihat hasil karyaku ini. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul satu siang. Namun, pengujiku belum datang juga. Aku duduk di lobi fakultas sembari membaca ulang materi penting yang harus aku presentasikan nanti. Detak langkah tegas secara perlahan melewati lobi fakultas, dan melewatiku begitu saja. Aku pun langsung berdiri dan mengikuti langkah kaki itu dari belakang. Pak Sucipto datang, sidang ujian pun dimulai.

Pak Sucipto duduk di kursi dengan pandangan ketus kepadaku.

“Silahkan dimulai” singkat, padat dan jelas tanpa senyum.

“Baik, terima kasih atas waktunya, Pak. Saat ini saya akan menjelaskan salah satu alat teknologi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Saya menamai alat tersebut dengan ‘Waterdito Energy’, yakni sebuah alat penangkal hujan yang dapat bergerak dan tertutup secara otomatis ketika hujan datang. Alat ini juga dapat menampung air hingga 500kg dalam sehari. Jadi..”

“STOP!” Pak Sucipto menyela.

“Baik, Pak” jawabku gugup.

“Sudah cukup,” sahut Pak Sucipto dengan nada datar dan berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Sampah! Kita tidak perlu ini, temukan alat lain dan datang lagi bulan depan, ujian selesai” jawab Pak Sucipto dengan nada remeh.

Pak Sucipto berdiri dan segera menuju keluar ruangan tanpa menolehku sedikit pun.

Aku tak kuasa melihat apa yang terjadi barusan, beliau dengan seenaknya mengucapkan kata-kata itu tanpa memikirkan apa yang ia katakan kepadaku. Kalimat itu sangat menyakitkan bagiku. Cukup lama aku berdiri di ruangan tersebut membaca ulang tiap rancangan yang aku buat, alhasil semuanya menjadi sia-sia begitu saja.

Selama satu minggu lamanya aku berfikir, memutar otak, menemukan apa yang harus aku lakukan dengan karyaku ini. Aku benar-benar berada diambang kesedihan. Aku bertekad akan menunjukan bahwa karyaku ini akan bermanfaat dan benar-benar berguna bagi masyarakat. Setelah satu minggu lamanya aku berusaha berdamai dengan diriku, aku pun memutuskan untuk pulang kampung ke kampung halaman di Desa Donomulyo.

Bapak Narso hari ini datang ke ladang seperti biasanya, setiap pagi ia biasa pergi ke sawah dengan cangkulnya dan melihat tanaman padinya yang tumbuh subur berusia dua bulan. Satu bulan lagi, waktu bahagia Pak Narso datang sebelum padi tersebut bisa di panen. Di sebuah gubug yang terbuat dari bambu dengan atap yang terbuat dari anyaman daun kelapa itu, Pak Narso duduk istirahat sembari melihat sawahnya. Ia sudah tak sabar menanti waktu panen tiba. Kebetulan, bulan depan juga bertepatan dengan Ayu yang akan masuk ke sekolah menengah. Dari kejauahan Ibu datang menggendong satu bakul nasi bersama lauk pauknya. Pak Narso menghampar tikar dan ibu menaruh hidangan di tikar persegi empat tersebut. Mereka pun menyantap dengan lahap makanan tersebut sembari berbincang sedikit tentang sekolah mana yang akan Ayu pilih nanti.

Hari sudah menjelang sore, Bapak  Narso dan sang istri pun mengemas barang dan segera pulang. Dengan sepeda ontel tua milik Pak Narso,  ia membonceng ibu dari belakang dan melewati jalan rerumputan menuju rumah. Rumahnya tak jauh dari sawah, hanya sepuluh menit jalan kaki saja sudah sampai ke rumah. Dengan rumah yang sederhana, beliau hidup bahagia tanpa ada masalah, walaupun dalam hati beliau sedang berfikir keras dari mana ia bisa mencari uang untuk membiayai sekolah anak semata wayangnya itu.

Tengah malam yang syahdu, tiba-tiba langit menjadi gelap dengan gumpalan awan yang menghitam. Sekelebat petir menyambar, bersuara lantang hingga mengagetkan  Pak Narso dari tidurnya. Beberapa menit kemudian, sambaran petir itu datang diiringi hujan yang deras sekali. Pak Narso sempat khawatir akan kondisi sawahnya, sempat ia mengambil payung yang berlobang di beberapa titik itu dan akan pergi ke sawah. Ibu pun langsung menahan Pak Narso.

“Mau kemana Bapak, hujan begini?” tahan Ibu.

“Mau ke ladang, lihat sawah sebentar” jawab Pak Narso.

“Ndak usah pak, hujan besar, jalanannya gelap, besok saja liat bareng-bareng ya sama Ibu” usul Ibu.

“Tapi, sawahnya...?” balas Bapak.

“Tidak apa-apa, Pak. Insyaallah, aman-aman saja” Ibu menenangkan.

Keesokan harinya, setelah menghantarkan Ayu ke sekolah, Pak Narso langsung berangkat ke sawah dengan sepeda ontelnya. Pagi itu kacau sekali, daun-daun berserakan, bahkan ada beberapa ranting pohon yang berjatuhan akibat angin kencang. Hal tersebut tidak menghalangi bapak Narso untuk pergi ke sawah. Tepat disebelah parit dekat jembatan kecil Pak Narso menaruh sepedanya. Kemudian berjalan menuju sawah.

Bersambung....


Klik disini untuk cerpen Musim Putus Asa (Part 2)

Posting Komentar

0 Komentar