Cerpen Musim Putus Asa (Part 2 )



Seketika itu ia kaget melihat kondisi sawah yang berantakan, hujan angin semalam merusak sawah Pak Narso. Sawah tersebut berubah menjadi kolam dan hampir menutupi semua tanaman padinya. Lubang irigasi air tertutup, hujan semalam menggenang di satu petak sawah milik Pak Narso. Kesedihan Pak Narso tidak terbendung lagi, ia bahkan tak berani bilang ke ibu apa yang terjadi pada sawah hari ini. Lambat laun ibu pasti datang kesini membawa nasi dan lauk pauknya. Pak Narso terdiam, sawah yang ia harapkan kini sudah hancur dan terancam gagal panen. Ia pun hanya bisa melihat genangan air di sawah yang berantakan.

Tiga jam lamanya Pak Narso duduk di gubug yang agak miring tersebut, ia pun akhirnya memutuskan untuk menjual tanah tersebut. Pak Narso juga berencana membuat usaha kecil-kecilan dan dana setengahnya lagi untuk  membiayai sekolah Ayu.

Sepeda motor yang aku kendarai melaju pesat di jalan kosong dengan pepohonan rindang yang menemani di pinggir jalan. Tatapanku kosong, tak memedulikan lingkungan sekitar, untung saja jalanan sepi dan tak ada kendaraan lainnya. Iya, jalanan desa memang seperti itu, jalanan di sini sudah diperbaiki dengan rapi. Jadi, aku bisa dengan nyaman berkendaraan. Setelah beberapa menit aku tidak sengaja melihat daerah pesawahan yang hancur dan penuh dengan genangan air. Aku sedikit memelankan sepeda motorku. Fokusku terlihat lagi ke arah plang yang baru saja ditancapkan itu. “Tanah ini dijual, hubungi 081212345” aku kaget dan segera memberhentikaan sepeda motorku. Aku melihat seorang bapak yang duduk di gubug sederhana tepat di sebelah sawah. Aku pun langsung menghampirinya.

Assalamualaikum, Selamat pagi, Bapak” sapaku.

“Waalaikumsalam, iya dik, Monggo pinarak riyin” jawab Bapak.

“Nggih, Pak. Saya mau bertanya, Pak. Apa benar itu tanah sawah yang dijual punya Bapak?” tanyaku.

“Iya, benar, Dik. Ada apa ya?” balas Pak Narso.

“Kenapa dijual, Pak. Apa Bapak sudah ingin berhenti bertani lagi?” tanyaku lagi.

“Bukan begitu, Dik. Itu tanaman padi sudah hancur, Bapak sudah tidak punya modal lagi untuk membeli benih. Lebih baik bapak jual saja, padahal Bapak sangat senang dengan dunia bertani, tetapi mau gimana lagi” jawab Bapak dengan sedikit menundukan kepala.

Aku pun merasa tak tega dengan Bapak tersebut. Namun, tak banyak yang bisa aku lakukan kecuali menyemangati Bapak tersebut. Alhasil, aku pun terpikirkan untuk membuktikan rancanganku tersebut. Ini momen yang tepat agar aku bisa membuktikan karyaku tersebut. Aku pun menjelaskan panjang lebar kepada Bapak tentang alat rancanganku dan beliau pun mulai tersemangati lagi oleh ajakanku. Beliau berharap besar bahwa ini bisa menjadi jalan terakhir untuk menyelamatkan sawah milik pak Narso tersebut.

Aku sedikit memodifikasi peralatanku dengan memanjangkan plastik dan menambahkan saluran air yang akan disalurkan menuju tangki air. Aku mulai dengan menyalurkan air yang tergenang di sawah tersebut terlebih dahulu, kemudian memilih tanaman padi yang masih bisa diselamatkan. Ibu datang membawa singkong rebus dan kopi hangat, benar-benar sungguh nikmat.

Keesokan harinya, aku menancapkan tiang ke tengah sawah, dengan panjang hamparan plastik yang melingkari tiang sejauh 10x10 meter. Kemudian, aku memasang saluran air ke arah tangki tersebut. Terakhir, aku memberi saluran listrik dari rumah warga terdekat agar alat tersebut bisa beroperasi. Waterdito Energy pun siap untuk diuji coba, dan tinggal menunggu hujan datang.

Sudah dua hari ini, Dito menunggu hujan datang. Namun hujan tak kunjung datang. Ia mulai putus asa, bahwa benar karyanya tak benar-benar dibutuhkan. Alhasil, ia pun berencana untuk menggagalkan rencana tersebut. Ia merebahkan dirinya di rerumputan dan menatap langit lekat-lekat. Ia berkata kepada awan setengah mendung tersebut “Hujan, maukah kau tunjukkan padaku apakah aku benar-benar seorang pecundang? Atau kau tunjukan kepadaku, kalau aku juga bisa menunjukan dunia aku pun juga bisa melakukannya”. Ia memejamkan matanya dan masih terbaring di rerumputan. Ia menatap gelap bersama semua bayangan kegagalan yang ada diwajahnya, wajah pak Narso, dan semua orang yang percaya padanya. Akhirnya dia menyatakan dirinya benar-benar gagal.

Sebuah titik kecil bertengger di pipi kirinya, ia langsung mengusap dengan tangan kanannya. Sebuah tetesan air, tetesan tersebut datang berangsur-angsur semakin deras. Hujan datang, aku pun langsung bangkit dan menyaksikan alat rancanganku. Alat pendeteksi hujan otomatis berhasil, plastik yang melindungi tiang perlahan mulai mekar dan menutupi satu petak sawah milik Pak Narso. Ah, aku senang sekali! Aku membiarkan diriku diguyur hujan, ku tengadahkan kepalaku ke atas, membiarkan hujan melabuhkan tetesan airnya di wajahku. Dengan hujan, aku bisa sebahagia ini dan tak ada yang tahu aku sedang menangis dalam tipuan hujan, sebahagia itu yang aku rasakan. Alat rancanganku benar-benar berhasil dan berpengaruh besar dengan pertanian Pak Narso. Ia mengurungkan niat untuk menjualnya dan akan merawat padi yang tersisa.

Satu bulan kemudian, padi Pak Narso dapat dipanen dengan kualitas yang sangat baik. Di kala banyak petani yang gagal panen. Namun, sawah Pak Narso bisa dipanen dengan baik. Akhirnya, banyak petani yang mencari Dito atas temuannya tersebut. Semakin hari, namanya dielukan oleh para petani di Desa Donomulyo. Sampai pada akhirnya, ia dijadwalkan untuk bertemu dengan Bapak Kementrian Pertanian Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk memberi apresiasi kepada Dito yang telah menyelamatkan banyak petani di Indonesia.

Kawan, musim tak selalu berada dalam konotasi positif. Semua hal negatif bisa terjadi kepada siapa saja. Keputusasaanku dan Pak Narso mungkin banyak dialami banyak orang. Tidak hanya orang kota, orang desa pun sama. Musim putus asa bisa melahap semua kasta. Namun, apa jadinya jika keputusasaan itu melebur menjadi satu dengan keputusasaan lainnya. Lihatlah, sebuah karya baru datang dan memunculkan sejuta manfaat bagi banyak orang. Jangan terjerembab dengan musim putus asa, bangkitlah dan temukan jalan lainnya. Jika buntu, maka teruslah mencari hingga kau benar-benar menemukan jalan keluar yang kau cari. Musim putus asaku buruk sekali. Namun, terkadang dari suatu hal buruklah hal yang luar biasa juga bisa terjadi.

 

 



x

[1] “Waalaikumsalam, iya, Dik. Mari silahkan mampir” jawab Bapak.

Posting Komentar

0 Komentar