Cerpen: Nasihat Ayah tentang Pandemi (PART 1)

Sumber: Google


Oleh : M. Dzikrullah, S.Hum


Pagi ini ayah sedang duduk di kursi tepat di balkon atas dengan koran yang ada di tangannya. Beliau sedang membaca rubrik tentang info kesehatan. Matanya terfokus pada artikel di pojok kanan atas koran, sebuah headline berita yang menjelaskaan tentang kondisi terkini Pandemi Covid-19 di Jakarta. Iya, sudah sudah satu tahun lamanya Indonesia terkena pandemi. Namun, hanya kota-kota besar sajalah yang baru terkena secara masif. Keluargaku tinggal di pinngiran kota, hampir tidak ada kekhawatiran sedikitpun mengenai Covid-19, di sini. kami menjalankan aktivitas keseharian seperti biasanya. 


Kang Mamat mengalihkan fokus ayah yang sedang membaca koran. Dengan sepeda tuanya Suzuki FR70 itu, mampu membawa gerobak dengan beranekaragam sayuran, buah-buahan, daging, dan bumbu-bumbu lainnya. Kang Mamat memang biasa melewati rumah kami pada jam enam pagi. Keluarga kami berlangganan dengan Kang Mamat karena bahan-bahan yang dijualnya cukup lengkap dan murah-meriah.


 “Pak Somad, monggo sayur-mayurnya, Pak. InsyaAllah rezekinya mujur” teriak Kang Mamat dengan senyum khasnya.

“Wah, ada Kang Mamat, tidak dulu, Kang. Ibu sudah beli keperluan dapur untuk seminggu ke depan. Lewat dulu ya, Kang” sahut Ayah.

“O, iya Pak, kalau begitu saya mau ke komplek sebelah dulu nggih”

“Nggih, monggo, Kang”


Melihat perkembangan Covid-19 yang semakin hari kian meningkat, Ibu biasanya hanya seminggu sekali ke pasar. Ibu langsung membeli keperluan dapur untuk seminggu lamanya agar menjaga diri untuk tidak sering keluar rumah. 


Seperti hari biasanya, pada jam tujuh pagi ayah selalu berangkat untuk mengajar ke sekolah desa. Kami sudah menyarankan ayah untuk tetap berada di rumah dan melakukan pembelajaran melalui daring saja. Tetapi ayah tetap tidak mau, karena sekolah yang ayah ajar berada di pelosok desa dan rata-rata murid yang bersekolah di sana merupakan anak yang berasal dari keluarga menengah ke bawah.  Jadi, sangat sulit untuk melakukan pembelajaran melalui daring. Maka dari itu, mau tidak mau ayahlah yang harus datang ke sekolah dengan ketentuan tetap menjaga protokol kesehatan yang ada. 


Adikku tahun ini masuk sekolah pada jenjang sekolah dasar, dan aku naik pada kelas sembilan SMP. Seperti biasanya, pagi ini aku harus melakukan kegiatan pembelajaran melalui daring. Begitu pun juga dengan adikku, Ibu kali ini mendapat tambahan pekerjaan di rumah, yaitu mendampingi Ara yang melakukan kegiatan pembelajaran secara daring. Terkadang jika Ibu sibuk, maka akulah yang mendampingi Ara untuk belajar. Ayah dan Ibu sangat peduli dengan pendidikan. Bahkan ayah rela keluar rumah hanya untuk mengajar tanpa tahu di tempat manakah saat ini pandemi sedang bersarang. Maka dari itu, kami selalu tekun belajar karena ayah kami yang selalu semangat dalam mengajar.

Selesai mengajar ayah selalu pulang tepat waktu, biasanya jam dua sore ayah sudah sampai rumah dan langsung membersihkan diri, takut-takut ayah membawa virus dari luar. Aku senang sekali ketika ayah sampai rumah dalam kondisi sehat dan bersemangat. Meskipun beliau akan menginjak usia lima puluh tahun, tapi semangatnya tetap saja seperti anak muda. 


Aku yang baru saja selesai sekolah, merebahkan sejenak tubuhku di kasur. Tiba-tiba suara orang membuka pintu rumah dengan keras. Itu abangku, sudah dua hari ini entah ke mana. Ia bilang ke ayah ada proyek sekolah yang harus dikerjakan dalam dua hari, tetapi aku tak pernah percaya itu, mungkin hanya alibi agar dapat keluar rumah.


“Rel, dari mana saja kamu, Nak. Ayo mandi dulu terus makan”

“Nanti saja, Bu. Farel ngantuk mau tidur dulu”

Farel langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu.


Abangku memang anak yang paling  berbeda di antara kami, aku tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu. Sifat abang berubah ketika dia tidak lolos masuk sekolah favoritnya. Akhirnya ayah mendaftarkan abangku di sekolah swasta lumayan jauh dari rumah. Pada jam tujuh malam, ada beberapa motor yang menghampiri rumah kami. Mereka membunyikan suara klakson dan memanggil abangku


“Farel, ayo nongkrong!”

Ayah yang mendengar itu langsung saja menghampiri Farel di kamarnya yang sudah siap akan keluar.

“Farel, jangan keluar rumah dulu, kondisi di luar masih belum kondusif, Nak”

“Ndak kok, Yah. Di luar aman-aman aja, buktinya Farel masih sehat sampai sekarang”

“Iya, Nak. Tapi kamu ndak tahu dan bisa kapan saja terkena virus ini, lebih baik di rumah saja. Ditahan dulu mainnya untuk beberapa waktu ya”

“Ndak Yah, Farel mau keluar saja, tenang saja, Yah. Farel akan sehat selalu kok” Farel langsung keluar kamar dengan gupuh.

“Farel!” teriak ayah.

Suaru pintu rumah tertutup, dan mereka langsung pergi begitu saja.


Terkadang aku juga kesal dengan abangku, mengapa ia tak pernah menuruti nasihat ayah. Ayah dan Ibu sudah berusaha memerhatikannya, tetapi ia tak pernah membalas sedikitpun kasih sayangnya. Ibu dan Ayah selalu bersabar, mereka selalu berharap semoga abangku dapat segera berubah dan kembali seperti biasa lagi. 


Sudah tiga hari ini abang belum kembali ke rumah, Ayah sudah menghubungi teman-temannya untuk menanyai kabarnya. Namun, teman-temannya mengatakan tidak bersamanya beberapa hari ini, ayah semakin khawatir ketika temannya mengatakan bahwa baru-baru ini abangku memiliki lingkungan pertemanan baru yang tak dikenalnya, ia sering balap liar di malam hari dan menginap di salah satu rumah temannya. Malam itu penuh sendu, ayah dan ibu tak bisa tidur tapi tak tahu kemana harus mencari anaknya. Aku meminta ayahku untuk istirahat dan melanjutkan besok pagi saja mencari abang.


Bersambung…


Lanjutan Cerpen Klik Disini

Posting Komentar

0 Komentar